01 August 2014

Saya Yakin, Ternyata HIPNOTIS Memang SIHIR

Kesaksian Robin (Mantan Praktisi Hipnotis)
Ditulis ulang oleh Aris fathoni S.pd.I

Hipnotis menjadi sesuatu yang sensasinonal sekarang. Kehadirannya di layar perak menarik sekian banyak orang untuk mempelajarinya. Padahal, manfaat yang ditimbulkannya tidak sebanding dengan kerugiannya. Karena dengan belajar hipnotis berarti seseorang mengundang Jin untuk bersemayam dalam dirinya. Seperti yang dialami Robin asal Surabaya yang tinggal di Bekasi. La menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di rumahnya.

Berikut petikannya;
Keterlibatan saya dengan dunia mistis tidak terlepas dari seputar kesaktian eyang yang sering saya dengar dari orangtua. Eyang memang orang sakti dan di cap sebagai musuh utama Belanda pada zaman penjajahan. Permusuhan melawan Belanda berakibat pada pembumihangusan kampung. Rumah-rumah dibakar oleh Belanda. Api berkobar menyambar-nyambar. Satu demi satu rumah warga yang terbuat di kayu itu pun roboh. Tinggallah sebuah rumah yang tersisa, menantang api yang terus berkobar.

Bukan berarti rumah itu tidak terjamah api yang tidak kenal tata krama, tapi karena keberadaan orang sakti di dalamnya yang entah bagaimana caranya, tapi yang jelas ia berhasil mempertahankan rumahnya dan tetap berdiri kokoh hingga sekarang. Orang itu tak lain adalah Eyang yang saat pembumihangusan itu menjabat sebagai kepala desa.

Pada kesempatan lain, orangtua kembali membawa saya ke alam khayal dengan membuka kembali kenangan masa lalu eyang yang katanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, sehingga eyang bisa berjalan di atas sungai tanpa tersentuh air. Kisah semacam ini menjadi bumbu masa kecil saya yang tumbuh dan besar di Surabaya legenda kota pahlawan yang mencengangkan. Meski demikian orangtua tidak menutupi nasib rnengenaskan yang dialami eyang saat ajal menjemputnya. Eyang meregang nyawa dengan cara yang tidak mudah. Sebuah ketidakwajaran yang pada akhirnya memaksa eyang menceritakan ilmu yang dipelaiarinya selama ini dan siapa saudara seperguruannya.

Melalui saudara seperguruan Eyang diketahui bahwa pengapesan Eyang adalah langit-langit mulut. Karena tidak kuasa melihat penderitaan Eyang saat sakaratul maut itu maka tidak ada pilihan lain. Langit-langit mulut Eyang harus ditusuk dengan benda tumpul. Ltulah satu-satunya jalan saat itu yang bisa ditempuh. Meski dengan berat hati, namun pilihan pahit itu harus dilalui juga.

Kisah sedih menjelang ajal itu tidak bisa mengubur bayangan indah menjadi manusia sakti yang katanya bisa melaksanakan shalat di Masjidil Haram, sehingga yang tergambar dalam benak saya adalah menjadi manusia sakti mandraguna seperti eyang. Terlebih bila mengingat riwayat keluarga dari pihak ibu yang boleh dibilang memiliki kekuatan spiritual lebih dibandingkan dengan keluarga yang lain. Hal ini terkait dengan keberadaan sebilah keris warisan. Tiga keluarga saudara ibu tidak kuat melawan kekuatan keris itu. Ada saja halangan dan hambatan yang mereka alami.

Namun ketika keris itu dibawa ke rumah orangtua, tidak ada perubahan yang berarti. Semua aktifitas keluarga berjalan seperti biasa. Gangguan yang selama ini dialami saudara-saudara ibu tidak terjadi pada keluarga saya. Hingga akhirnya keris pusaka itupun dibiarkan tinggal bersama kami. Al-hasil, saya yang waktu itu masih kelas lima SD mendapat tugas khusus untuk membakar kemenyan setiap malam Jum'at. Biasanya saya melakukannya selepas maghrib. Semua itu saya jalani dengan senang karena pada dasarnya saya suka dengan dunia mistis yang selama ini hanya saya dengar dari cerita orangtua.

Sesekali keris pusaka itu saya bawa keluar tanpa sepengetahuan orangtua. Di sini, fantasi kekanak-kanakan saya muncul, kesaktian keris yang selama ini hanya saya dengar itu ingin saya buktikan sendiri. Ujung keris itu saya arahkan kepada seekor anjing. Dan .... apa yang terjadi kemudian di luar perkiraan saya. Anjing itu menundukkan kepala laksana seorang rakyat yang bertemu dengan raja. Itu hanya kebetulan belaka, pikir saya pada awalnya, namun ketika hal itu saya ulangi beberapa kali dan dengan hasil yang sama, saya baru menyadari bahwa keris pusaka itu memang bukan benda sembarangan. Waktu itu saya tidak berani menunjukkan kehebatan keris pusaka itu kepada teman sepermainan.

Ketertarikan dengan dunia mistis terus berlanjut setelah saya duduk di bangku SMP dan SMA. Meski hanya mengikuti latihan-latihan silat tenaga dalam, namun waktu itu saya masih sempat menelan gotri, meski hal itu tidak sampai kepada tingkatan yang lebih tinggi. Saya lebih tertarik untuk beralih dari satu perguruan ke perguruan yang lain.

Mewujudkan lmpian “Sakti Mandraguna” dengan Hipnotis

Lulus dari sekolah dan kuliah bukan berarti menghalangi saya untuk kembali berkiprah dalam dunia mistis. Dunia kerja yang saya jalani membawa saya ke kota Tulungagung, sebuah kota yang kaya “spiritual.” Bayangan dan khayalan masa kanak-kanak menemukan tempat yang subur. Disini ditemukan beberapa Perguruan yang mengajarkan keahlian metafisika yang lebih dikenal dengan istilah Hipnotis. Pilihan jatuh kepada perguruan hipnotis di bawah asuhan Ki Sobar.

Bersama dengan Sartono, teman satu kantor, saya mendatangi perguruan Ki Sobar dan disuruh datang kembali pada malam harinya dengan membawa perlengkapan baiat seperti hio. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1992. Menurut keterangan Ki Sobar, ilmu yang diajarkan di sini merupakan ilmu salah seorang Walisongo. Saya percaya begitu saja dengan penjelasan Ki Sobar, karena di antara mantra yang dilafalkan juga terdapat bacaan syahadat, apalagi cerita seputar Walisongo sarat dengan pengalaman spiritual.

“Untuk bisa menguasai ilmu ini dengan baik, kalian harus mematuhi pantangannya. Kalian tidak/ boleh bercerita bagaimana cara menghipnotis dan dari siapa kalian belajar. Selain itu kalian tidak boleh meniup api dan menguap,” jelas Ki Sobar yang berambut gondrong dengan mimik serius.

Di bawah tingkah polah binatang malam yang mulai berisik Sartono membakar hio. Bau harumnya yang khas segera menyeruak ke seluruh ruangan, menebar hawa mistis yang kian lama kian menyengat. Hening, sunyi berpadu dengan pendaran pijar lampu uplik yang redup, detik-detik berikutnya Ki Sobar menuntun saya dan Sartono menjelajah dunia hipnotis. Pernapasan diatur sedemikian rupa sambil memegang tongkat dengan dua tangan di atas kepala. Secara perlahan tongkat diturunkan, tangan tetap lurus seirama dengan tarikan nafas lalu kembali ke posisi semula.

Dilanjutkan dengan latihan meditasi. Nafas ditarik perlahan. Tarikan nafas yang bisa dirasakan oleh seluruh tubuh kemudian ditahan di pusar dan di lepas lagi melalui hidung. Menurut Ki Sobar, sewaktu menarik nafas itu kita menghisap kekuatan ghaib yang ada di alam. Menyedotnya dan membawanya merasuk ke dalam jiwa hingga akhirnya menyatu ke dalam tubuh. Ada dua kekuatan yang dihisab tubuh, kekuatan llahi dan kekuatan syetan. Kekuatan llahi yang katanya kekuatan baik itu kemudian diserap tubuh sedangkan kekuatan syetan dibuang kembali secara perlahan.

Saya sendiri tidak mengerti bagaimana cara membedakan antara kekuatan llahi dengan kekuatan syetan. Latihan meditasi itu saya jalani saja, tanpa menyeleksi ini kekuatan llahi atau kekuatan syetan. Latihan berikutnya adalah memandang matahari selama mungkin di pagi, siang dan sore hari. Semakin lama seseorang memandang matahari, menurut Ki Sobar hasilnya akan semakin baik. Latihan ini bisa dilakukan di mana saja, tanpa bimbingan Ki Sobar.

Sejak itu selama empat puluh hari saya selalu mencuri waktu untuk memandang matahari sambil telanjang kaki karena kekuatan matahari yang diserap mata harus tersambung dengan tanah. Sambil komat-kamit merapal mantra, "Bismillah dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya ingin menguasai jiwanya si A sesuai dengan kehendak hati saya."

Sebagai orang yang baru mengenal dunia hipnotis, keinginan untuk mencobanya demikian menggebu-gebu dan pilihan pun jatuh kepada Kardi, seorang teman dekat yang masih satu kantor. “Di, sini sebentar. Saya belajar hipnotis, mau nggak saya coba?" “Yo, wis oro opo-opo (Ya, tidak apa-apa)," jawab Kardi. Saya menarik nafas dan menselaraskannya dengan tenaga yang selama ini tersimpan dalam tubuh saya. Setelah sinkron, kemudian saya merapal mantra dalam batin sambil menahan nafas, Bismillah. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan penyayang,
saya ingin menguasai jiwanya Kardi untuk mengikuti kehendak saya." Secara perlahan, saya mengeluarkan nafas sambil menatap titik di antara dua mata Kardi dan merapal mantra dalam batin, "Harus ikut sesuai kehendak saya."

"Pejamkan mata! Sekarang kamu tidak bisa melihat." Kardi memejamkan mata. Tapi kemudian ia tidak bisa membuka matanya. Dicoba berkali-kali tapi tetap tidak bisa hingga dia pun menangis. Melihat tingkah laku Kardi yang bisa saya kendalikan dengan mudah, saya semakin ketagihan untuk terus mempermainkannya. Teriakan Kardi yang ingin dilepaskan ikatan hipnotisnya tidak lagi saya hiraukan. Sekarang, kamu tidak bisa berdiri. Kamu lumpuh. "Kardi kembali tidak berkutik. la lumpuh. Kemudian saya tinggalkan begitu saja hingga heberapa saat. Setelah cukup puas melihat pengaruh hipnotis, saya menyadarkan Kardi hanya dengan perkataan, 'Sudah selesai. " Kardi sadar kembali dan terbebas dari kelumpuhan.

Sukses pertama ini membuat saya semakin terperangkap jauh ke dalam hipnotis, sehingga secara berkala saya bertemu Ki Sobar di Tulungagung. Saat-saat pertemuan seperti itu biasanya diisi dengan cerita Ki Sobar tentang keberhasilan murid-muridnya. Ceritanya aneh-aneh. "ltu, paijo sekarang sudah bisa membakar kapas dengan pandangan mata. Solehan bahkan kalau hujan tidak kehujanan. Air hujan itu berjatuhan di kiri kanannya dan tidak membasahi tubuhnya,” ulas Ki Sobar.

Kemampuan menghipnotis pada satu sisi menguntungkan teman-teman kerja. Saya dimanfaatkan mereka untuk memberikan fantasi dalam diri mereka. Seperti yang terjadi pada suatu hari, seorang satpam yang katanya tidak punya uang ingin merasakan nikmatnya sate. Dia datang kepada saya dan meminta dihipnotis. “Coba kamu cium! Ada bau sate kan!. Coba cium-ciummm ..." secara perlahan saya mempengaruhi pikirannya dan ... "Oh, ya Mas, ada bau sate," balas satpam. Saat selanjutnya satpam itu pun merasakan nikmatnya sate melalui indra penciumannya.

Pada kesempatan lain, teman-teman yang ingin merasakan nikmatnya rokok berkualitas datang menemui saya dengan membawa tiga bungkus rokok klobot. Dia ingin mengubah rasa rokok klobot itu menjadi rokok berkualitas. Awalnya, hanya saya tanggapi dengan senyuman saja, tapi mereka masih memaksa. Akhirnya saya turuti keinginan mereka. Rokok klobot pun berganti rasa.

Sebenarnya ada juga keinginan untuk mempelajari keahlian menarik benda pusaka. Tapi ketika saya renungkan lebih jauh dan setelah bergaul dengan teman-teman yang telah menguasainya, akhirnya keinginan itu pun saya pupus perlahan. Tidak mungkin orang seperti saya yang tergolong berpendidikan kemudian berulah seperti mereka yang keluar masuk pekarangan orang untuk semedi. Sementara, potongan rambut dan gaya mereka jelas berbeda dengan diri saya.

Saya berpikir, kalau saya ingin menarik benda pusaka lebih baik mereka saja yang melakukannya. Karena waktu itu saya dikasih tahu, "Kamu seperti melihat gunung. Dari jauh nampak indah, tapi kalau kamu dekati tidak seperti yang terlihat sebelumnya. Di sana ada jurang, ada pohon-pohon besar dan semak-semak berduri. Ada gajah ada macan. Menakutkan," ujar teman seperguruan yang telah mempelajarinya.

Di penghujung tahun 92, saya kembali mengikuti pendadaran di air terjun Sedudo, Nganjuk. Di bawah derasnya aliran air saya berendam berdua dengan Sartono. Sebelum berangkat, Ki Sobar memang menyarankan kami berdua untuk membawa ketan hitam agar ilmu hipnotis saya semakin kuat, tapi saya tidak membawanya karena masih ada sesuatu yang mengganjal dalam diri saya. Apa alasannya dan mengapa harus ketan hitam. Ketika hal itu saya pertanyakan kepada Ki Sobar, ia tidak bisa menjawabnya.

Di air terjun Sedudo inilah, saya diajari menghipnotis dengan media air. Dengan mantra-mantra yang ditujukan kepada batu kerikil disertai dengan penyebutan nama orang-orang yang akan dihipnotis. Batu kerikil itu kemudian dilemparkan ke sungai. Nama-nama yang disebutkan tadi bila mandi di aliran sungai yang telah diberi mantra, maka dia bisa jatuh cinta kepada saya atau menjadi gila. Semua itu tergantung kepada mantra yang dirapal. Dari sini saya mulai goyah.

Niatan untuk memperdalam hipnotis mulai luntur. Seakan saya membawa pisau tajam yang bisa mencelakakan orang-orang yang tidak bersalah. Saya mulai tidak percaya lagi karena sudah mulai melenceng terlebih bila tumbuh-tumbuhan bisa bicara. Saya sendiri tidak mengerti apakah itu suara tumbuh-tumbuhan atau suara jin tapi dengan jelas saya mendengar salam dan dialog dalam batin dengan diri saya. Bisikan-bisikan itu semakin
sering terngiang di telinga, meski tidak bernada jelek karena bisikan itu selalu menyuruh saya melakukan kebaikan. Misalnya, bila ada orang susah, ada bisikan yang menyuruh saya untuk menolongnya. "Bantulah anak itu! Dia anak yang pintar tapi keluarganya tidak mampu," ujar suara asing suatu kali. Biasanya saya menindaklanjuti bisikan-bisikan itu dengan menjadikannya sebagai anak asuh.

Pada sisi ini, mungkin saya bisa menjadi manusia yang berjiwa sosial. Tapi di sini muncul masalah baru. Saya merasa digelincirkan secara perlahan karena beberapa minggu kemudian muncul pikiran negatif, tidak shalat juga tidak apa-apa karena hubungan dengan manusia sudah baik, Allah meridhai. Tidak usah aneh-aneh. Yang penting niat. Jadi saya mulai meninggalkan shalat seenaknya, seperti orang tidak berdosa saja. Waktu itu saya masih belum sadar bahwa apa yang saya lakukan selama ini adalah suatu kesalahan. Meski pada akhirnya saya bersyukur bahwa interaksi saya dengan Ki Sobar tidak berlangsung lama. Semuanya berakhir setelah Ki Sobar pindah ke kota lain.

Berpindahnya Ki Sobar dari Tulungagung tidak berarti mengakhiri petualangan saya dengan dunia mistis. Saya masih tetap menggunakan dan memanfaatkan hipnotis hingga bertahun-tahun, walau tidak memperdalamnya dengan ilmu yang baru. Saya hanya menerapkan apa yang selama ini saya peroleh dari Ki Sobar. Saat ada anggota keluarga yang sakit gigi misalnya, maka saya pegang pipinya dan dengan mantap saya katakan, "hilangkan? ilang kan? (Sudah sembuh kan?) Beberapa saat kemudian ia merasa sakit giginya hilang bila dia percaya dengan hipnotis saya.

Adu Kesaktian Hipnotis
Pada tahun 1996, saya mengalami peristiwa unik. Unik karena saya yang selama ini telah memahami seluk beluk hipnotis justru mau dijadikan korban hipnotis oleh empat orang berandalan. Sewaktu saya menunggu mobil di pinggir jalan dari Malang ke Tulungagung, saya didekati oleh seorang pemuda yang dengan sopan mengatakan, "Mas, di sana ada anaknya kiai. Pintar anaknya Mas" Dia mencoba menarik perhatian saya dengan harapan bisa mempengaruhi saya. Beberapa detik kemudian, seseorang temannya menghampiri saya. Dari tatapannya yang mengarah ke titik di antara dua mata saya, saya paham bahwa dia berusaha menghipnotis saya terlebih bila kemudian tanganya bergerak menepuk pundak saya dan berlagak sok kenal.

Melihat situasi yang kurang menguntungkan itu, saya segera memasang tameng dengan menatap balik titik antara kedua matanya. Sekian menit saya dan pemuda itu saling beradu pandang untuk mengukur kekuatan masing-masing. "Sorry Mas, tidak tertarik," jawab saya sambil menepuk balik pungungnya. Tak lama kemudian ada bis jurusan Tulungagung yang lewat dan saya tinggalkan mereka begitu saja di pinggir jalan.

Pada ahun 1997, saya kembali mengunakan hipnotis untuk menghindarkan diri dari tilang polisi atas kesalahan yang saya lakukan. Waktu itu saya menerobos jalur yang tidak boleh dilalui kendaraan roda empat. Seorang polisi kemudian mengejar saya, padahal saya sudah melaju sekitar ¾ klilometer.

Dari dalam mobil, saya bersiap-siap untuk menghipnotisnya. Begitu dia menghentikan mobil saya, niatan itu segera saya wujudkan. Ada Apa sih boss? ujar saya dengan sopan sambil menepuk punggungnya. Di sana sudah ada tanda dilarang masuk, bapak kok terus saja?" jawab polisi itu dengan tidak kalah sopannya. "Tapi saya tidak lihat pak. Sorry ya pak!" saya kembali mengpuk punggungnya. Dari raut wajahnya ia nampak sudah terpengaruh dengan hipnotis saya, akhirnya saya menyalaminya. Polisi itu menjabat tangan saya dengan hangat. Saat-saat berikutnya dia bahkan menyetop mobil dari arah yang berlawanan dan membiarkan saya memutar balik. lbu dan istri saya sampai tertawa keheranan. Dari kaca spion saya melihat polisi itu masih seperti orang yang bingung.

Setelah berjalan belasan tahun, saya baru menyadari bahwa hipnotis yang sesekali masih saya lakukan ini adalah suatu kesalahan. Meski saya hanya belajar satu tahun, tapi hasil dari pembelajaran itu masih sesekali saya terapkan. Kesalahan ini semakin terasa ketika tangan saya bergetar ketika memegang Majalah Ghoib.

Aneh, aneh sekali. Saya tidak habis pikir mengapa hanya dengan memegang majalah, tangan saya menjadi gemetar. Rasa penasaran itu memaksa saya untuk membeli Majalah Ghoib dan membacanya dengan hati berdebar. Saya merasakan bahwa saya telah menemukan jalan keluar
dari masalah yangsaya hadapi, karena sudah beberapa tahun terakhir ini sebenarnya saya ingin membuang jin dari dalam diri saya, tapi beberapa orang pintar di Bekasi, Tangerang maupun Surabaya tidak mau melakukannya.

Berdasarkan informasi dari Majalah Ghoib,saya memaksa diri untuk mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib. lni bukan hal yang mudah, karena saya harus bertarung melawan perasaan aneh yang terus menghalangi saya ke kantor ruqyah. Benar saja, saat kaki menginjak halaman parkir Majalah Ghoib, perut saya langsung mual. Saya tidak bisa menghentikan keinginan untuk muntah di sana, meski harus menahan malu dilihat sekian banyak orang.

Bulan Februari 2005, menjadi tonggak sejarah baru dalam kehidupan saya. Di bulan inilah saya mengikuti terapi ruqyah yang pertama dan dengan reaksi yang cukup keras. Saya berteriak dan muntah-muntah.

Sekarang sudah delapan kali saya mengikuti terapi di kantor dan alhamdulillah saya kembali menemukan ketenangan batin. Karena ilmu yang selama ini ingin saya buang, secara bertahap bisa dihilangkan.

Saya sadar bahwa untuk membuang semua jin dari dalam diri saya dibutuhkan beberapa kali terapi lagi. Karena mereka sudah bersarang dari dalam diri saya belasan tahun. Cukuplah kiranya hal ini menjadi pelajaran bagi siapa saja, tidak perlu terpancing untuk mempelajari hipnotis hanya untuk mencari sensasi, karena madharatnya lebih besar daripada manfaatnya.

Ghoib Edisi 41 Th. 2/21 Rabiut Tsani 1426H/30 Mei 2005 M

No comments: