01 April 2013

Bahaya Globalisasi NeoLiberal

Oleh: Drs. Revrisond Baswir, MBA -- Pengajar FE-UGM Yogyakarta, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Hubungan antara globalisasi dengan neoliberalisme dapat diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata yang sama. Sebagaimana dikemukakan Lafontaine (1998), berbicara mengenai globalisasi sama artinya dengan berbicara mengenai penyebarluasan neoliberalisme. Sebaliknya, berbicara mengenai neoliberalisme sama artinya dengan berbicara mengenai ekspansi kepentingan para pemodal negara-negara kaya.


Para pemodal negara-negara kaya inilah terutama yang menjadi sponsor globalisasi. Sebab itu, modal dimengerti bila penyebarluasan globalisasi hampir selalu berjalan beriringan dengan penyebarluasan neoliberalisme. Globalisasi sesungguhnya hanyalah kedok. Di balik kedok globalisasi bersembunyi agenda-agenda ekonomi neoliberal yang dimotori oleh para pemodal negara-negara kaya.

Dengan memahami globalisasi sebagai pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal, bahaya globalisasi bagi negara-negara miskin menjadi mudah untuk dipetakan. Secara umum, globalisasi adalah sebuah proses sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, terutama berupa pengerdilan peran negara dan peningkatan peranan pasar, sehingga memudahkan pengintegrasian perekonomian negara-negara miskin itu ke dalam genggaman para pemodal negara-negara kaya.

Dari pengertian umum tersebut dapat disaksikan bahwa bahaya globalisasi bagi negara-negara miskin pada dasarnya terletak pada melemahnya kemampuan pemerintah negara-negara miskin dalam melindungi kepentingan negara dan rakyatnya, dan meningkatnya ketergantungan perekonomian negara-negara miskin terhadap pemenuhan kepentingan para pemodal negara-negara kaya.

Dengan meningkatnya ketergantungan perekonomian negara-negara miskin terhadap pemenuhan kepentingan para pemodal negara-negara kaya, fungsi pemerintah dalam perekonomian negara-negara miskin cenderung berubah, yaitu dari melayani dan melindungi kepentingan rakyat menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal negara-negara kaya.

Pada tingkat yang lebih ekstrim, globalisasi bermuara pada terjadinya pelebaran kesenjangan sosial dan ekonomi, dan meningkatnya dominasi para pemodal negara-negara kaya terhadap pemilikan faktor-faktor produksi di setiap negara miskin. Dengan demikian, bila secara internasional globalisasi menyebabkan semakin meningkatnya ketergantungan negara-negara miskin, secara domestik ia menjadi pemicu porak-porandanya fondasi integrasi sosial yang terdapat dalam masyarakat.

Dengan bahaya seperti itu, mudah dimengerti bila Petras dan Veltmeyer (2001) lebih suka menyebut globalisasi sebagai imperialisme. Sebagaimana mereka tegaskan, di balik penyebarluasan globalisasi sesungguhnya bersemayam sebuah kepentingan kelas atas tertentu, yaitu kelas kapitalis internasional baru yang sedang berusaha melebarkan pengaruh dan dominasi ekonomi mereka ke seluruh penjuru dunia.

Pertanyaannya, “tindakan apakah yang harus dilakukan untuk mencegah berlanjutnya bahaya globalisasi itu?” Bila dicermati wacana mengenai bahaya globalisasi dalam beberapa waktu belakangan ini, perlawanan terhadap globalisasi dalam garis besarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga aliran berikut.

Pertama, perlawanan terhadap pelaksanaan agenda-agenda globalisasi. Dalam hal ini yang dipersoalkan terutama adalah soal waktu, sekuen, dan orang atau lembaga yang terkait dengan pelaksanaan agenda-agenda globalisasi. Prinsip dasar yang melatarbelakangi agenda-agenda globalisasi cenderung diterima apa adanya.

Kedua, perlawanan terhadap agenda-agenda globalisasi. Perlawanan terhadap globalisasi dalam bentuk yang kedua ini terutama diarahkan pada agenda-agenda globalisasi tertentu. Karena diarahkan pada agenda-agenda globalisasi tertentu, perlawanan jenis yang kedua ini cenderung bersifat parsial.

Ketiga, perlawanan terhadap neoliberlisme atau ideologi yang menjadi roh globalisasi. Dalam bentuk perlawanan yang ketiga ini, globalisasi langsung ditolak pada tingkat prinsipnya. Sedangkan ungkapan globalisasi diusulkan untuk diganti dengan internasionalisasi.

Saya sendiri lebih condong pada aliran ketiga. Prinsip yang saya pakai sebagai titik tolak untuk menolak globalisasi adalah sebuah prisip yang dikenal sebagai prinsip demokrasi ekonomi (Dahl, 1992, Smith, 2003). Dalam hal ini bangsa Indonesia sesungguhnya sangat beruntung. Sebab, sejak proklamasi kemerdekaan, prinsip demokrasi ekonomi ini sudah tercantum dalam UUD 1945.

Sebagaimana dikemukakan oleh bagian penjelasan Pasal 33 UUD 1945,

Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa demokrasi ekonomi berbeda secara diametral dari neoliberalisme. Neoliberalisme mengagungkan persaingan dan kebebasan individu. Sedangkan demokrasi ekonomi lebih mementingkan kerjasama dan persaudaraan sosial.

Sebagaimana dikemukakan Forum Globalisasi Internasional (1999), beberapa agenda yang mendesak untuk dilakukan dalam rangka internasionalisasi adalah: pertama, pembentukan lembaga-lembaga internasional baru untuk: (1) mencegah penularan penyakit, konflik, dan perusakan lingkungan internasional; dan (2) menetapkan norma internasional mengenai hak-hak dan standar-standar yang sebagian besar akan diterapkan pada tingkat nasional.

Kedua, penataan ulang (reformasi) tata keuangan internasional. Ketiga, penataan ulang tata kelembagaan Bank Dunia dan bank-bank regional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), yang memiliki fungsi sejenis. Dan keempat, penataan ulang organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Untuk melaksanakan agenda-agenda tersebut, para pemimpin negara-negara miskin tentu perlu membekali diri dengan kemauan politik yang kuat. Bersamaan dengan itu, mereka juga dituntut untuk terus merapatkan barisan dan mempererat hubungan antar sesama negara miskin se dunia.

Hanya bekal seperti itulah yang dapat meningkatkan posisi tawar negara-negara miskin di hadapan oligarki negara-negara kaya. Dan hanya bekal seperti itu pula yang dapat mencegah para pemimpin negara-negara kaya untuk terus melaju dengan agenda-agenda ekonomi neoliberal mereka. Globalisasi atau imperialisme neoliberal negara-negara kaya memang harus secepatnya dihentikan. Semakin cepat semakin baik.

No comments: